Politik dalam “Ruang Redaksi”

Biarkan saya memulainya dengan kata ‘Tabu’. Sebuah kata yang menyiratkan adanya pandangan yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh suatu pihak karena telah melanggar nilai-nilai yang ada.

Terjadikah di perusahaan Media? Jelas iya. Ketika media menjadi pilar kelima dalam Demokrasi, politik akan menjadi bahan pembicaraan yang dijauhi dalam sebuah diskursus sesama pekerja media. Bukan tanpa sebab, politik yang dalam arti harfiahnya sebagai suatu cara meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, bukanlah menjadi tujuan pokok bagi perusahaan media di sebuah negara.

Alasannya cukup jelas bahwa terlalu banyak batasan yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri dan tidak adanya peluang bagi media untuk meraih kekuasaan tertinggi di sebuah negara dan yang perlu saya tekankan bahwa media bukanlah alat untuk meraup kekuasaan demi hasrat yang membara.

Mari sedikit kita menengok kode etik jurnalistik yang diamini semua pihak. Dalam poin pertama, disebutkan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Dari situs Dewan Pers, ditafsirkan wartawan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Ada yang kurang jelas? Mari pahami sejenak, apa itu wartawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio dan televisi. Pengertian lainnya adalah Wartawan merupakan reporter, editor dan juru kamera berita.

Saya sepakat untuk menggunakan wartawan adalah profesi seseorang yang bekerja dalam bidang redaksional. Entah dia adalah reporter yang mendapatkan berita langsung dari lapangan, atau editor yang menyunting berita agar dapat diperlihatkan kepada khalayak, entah dia juru kamera atau pimpinan redaksi sekalipun yang masih dalam satu kesatuan ‘Ruang Redaksi’.

Pertanyaan selanjutnya, bisakah meraih kekuasaan politik melalui “Ruang Redaksi”? Tulisan ini tidak akan menjadi menarik, jika saya menjawabnya dengan kata “Tidak”. Apa artinya? Artinya saya akan menjawab “Bisa”. Mengapa?

“Ruang Redaksi” dapat mengontrol semua hal yang yang telah ditulis oleh reporter yang berada di lapangan untuk disiarkan secara segera kepada masyarakat yang membutuhkan informasi terkait apapun itu. Noam Chomsky (2002) menyebut bahwa media dapat melakukan penggiringan opini baik atau buruknya sesuatu hal yang dirasa saat itu menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Lantas, dimana letak meraih kekuasaannya?

Orang yang memiliki kepentingan politik tertentu akan melihat penggiringan opini yang dikuasai oleh media menjadi sebuah alat untuk mencapai hasrat politiknya demi sebuah “Nama” (kalau bisa nyaring) untuk didengarkan kepada masyarakat. Hal itu adalah cara yang paling singkat dan efektif agar khalayak dapat mengenali dirinya meski dalam beberapa hal, orang itu belum memiliki apa yang saya sebut sebagai kualitas.

Betapa tidak? “Ruang Redaksi” yang hanya terdiri dari segelintir orang adalah hal yang paling seksi untuk ‘ditemui’ dan ‘dibujuk’ oleh orang per orang agar syahwatnya terpenuhi. Tidak hanya sekali, tetapi juga berkali-kali, kalau perlu dimiliki.

Iya, memiliki sebuah perusahaan dengan jangkauan nasional adalah hal yang paling relevan untuk meraih kekuasaan di tingkat tertinggi. Tetapi, kembali saya tekankan, ada banyak batasan yang tidak memungkinkan jika media menjadi alat meraih kekuasaan. Dalam sebuah negara yang berdemokrasi, satu-satunya kendaraan untuk duduk di tampuk kekuasaan tertinggi, hanya dengan partai politik.

Memiliki media dan menjadi pemimpin tertinggi di sebuah Partai Politik adalah hal yang mendekati sempurna, atau bahkan sempurna jika didukung dengan luasnya “Kenalan” dan pendanaan yang jauh di atas rata-rata.  Media bukan hanya menjadi alat, tetapi juga kendaraan yang nyaman untuk jarak dekat dan jarak jauh. Pekerja di media seperti Wartawan yang hidup hanya untuk menafkahi diri sendiri dan keluarga, mulai tidak berdaya dengan yang saya sebut sebagai “Politik dari Ruang Redaksi”.

Ke-tabu-an yang saya sebutkan di awal kalimat dapat menjadi sebuah bahan pemberitaan yang tidak lagi mengenal kata Independen dan juga berimbang atau tak tahu lagi dengan “tidak tendensius”. Langkah ini yang seharusnya menjadi perhatian di masyarakat dan menilai baik atau tidaknya sebuah media dalam memberitakan sesuatu.

Jangan sampai, saya dan anda terjebak dalam sebuah kepentingan politik orang per orang yang seharusnya jauh dari pemberitaan di media terlebih ada sebuah tendensi dalam suatu berita.

Leave a comment